Beberapa waktu lalu Inklusif mengadakan kelas advokasi tentang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) yang diikuti oleh pemuda se-Jabodetabek. Tujuan utama dari kelas tersebut adalah untuk membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan dalam memperjuangkan hak-hak beragama, khususnya bagi kelompok minoritas.
Sebagai tindak lanjut pelatihan tersebut, para peserta melanjutkan dengan melakukan praktik advokasi kepada komunitas korban pelanggaran KBB. Salah satunya dengan mengunjungi dan berdialog dengan jemaat HKBP Cilebut 24/08/2024 yang lalu. Pertemuan ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk saling berbagi pengalaman, mencari solusi bersama, dan tentunya semakin memperkuat semangat dalam memperjuangkan hak-hak beragama.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh lima peserta kelas advokasi, yaitu Barqy, Irvan, Adies, Apriansah, dan Afdal, serta didampingi oleh tiga staf Inklusif, Hidayat, Latipah dan Firda dalam hal ini sebagai koordinator kunjungan advokasi, Jemaat Gereja HKBP Cilebut berbagi pengalaman pahit terkait penolakan keras yang mereka alami saat hendak merayakan Natal tahun lalu. Eva Sibarani dan Benny Sitompul, dua tokoh sentral dalam peristiwa tersebut, menceritakan bagaimana jemaat dihadang dan diintimidasi oleh kelompok tertentu yang menolak perayaan tersebut. Meskipun berbagai hambatan dan ancaman terus menghantui, semangat jemaat untuk beribadah tidak pernah surut. Mereka telah berjuang mencari solusi melalui berbagai jalur, namun hingga kini, belum ada titik terang yang mereka temukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Jemaat HKBP Cilebut tidak melakukan hal yang ditakuti warga, yaitu kristenisasi, Kami hanya ingin beribadah” tutur Benny Sitompul.
Pertemuan ini juga menjadi ajang bagi mereka untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami dan meminta dukungan dari berbagai pihak.
Kasus penolakan ibadah di HKBP Cilebut menyoroti lemahnya penegakan hukum dan toleransi beragama di tingkat lokal. Pertemuan dengan kelompok diskusi menjadi momentum untuk berupaya mendesak pemerintah, khususnya pemerintah daerah, agar lebih proaktif dalam menyelesaikan masalah ini.
“Perwakilan jemaat mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambannya respon pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum. ‘Kami berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara,’ ujar Eva Sibarani. Pertemuan ini menunjukkan bahwa semangat kebersamaan dan toleransi masih hidup di tengah masyarakat. ‘Harapannya, kisah perjuangan kami dapat menginspirasi banyak orang untuk turut serta dalam membangun masyarakat yang lebih harmonis,’ tambahnya.”
Peristiwa penolakan ibadah telah meninggalkan trauma mendalam bagi jemaat HKBP Cilebut, terutama anak-anak dan lansia. Ketakutan dan ketidakamanan yang mereka rasakan telah mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Pertemuan ini menjadi suatu wadah bagi mereka untuk mencurahkan isi hati dan mendapatkan dukungan emosional.